Melihat sejarah perkembangan ekonomi global, '30 tahun hilang' Jepang sebagai sebuah peristiwa ikonik, membentuk resonansi unik yang melintasi waktu dengan gejolak saat ini di pasar Aset Kripto. Dua fenomena ekonomi yang tampaknya tidak terkait ini, dalam hal logika internal pembentukan gelembung, psikologi investor, konsekuensi intervensi kebijakan, serta dampak terhadap masyarakat, menunjukkan kesamaan yang mengejutkan, seolah-olah sebuah tragedi kapital yang berulang.
Kebijakan moneter yang longgar berperan sebagai sarang ekonomi gelembung, memainkan peran kunci dalam kedua kasus ini. Setelah penandatanganan "Perjanjian Plaza" pada tahun 1985, yen Jepang mengalami apresiasi yang signifikan. Untuk meredakan tekanan ekspor, pemerintah Jepang menerapkan kebijakan moneter yang sangat longgar, secara berkala menurunkan suku bunga ke titik terendah yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam waktu singkat. Ini menyebabkan sejumlah besar dana berlebih masuk ke pasar properti dan saham, mendorong lonjakan harga aset. Demikian pula, setelah meledaknya pandemi COVID-19 pada tahun 2020, bank sentral di seluruh dunia mengadopsi kebijakan moneter "banjir uang", yang menyebabkan kelebihan modal. Dana murah ini, dalam mengejar pengembalian tinggi, mengalir besar-besaran ke dalam bidang Aset Kripto seperti Bitcoin, mendorong lonjakan harga yang luar biasa. Kedua kasus ini dengan jelas menunjukkan bahwa likuiditas yang berlebihan adalah pendorong langsung terbentuknya gelembung aset.
Lebih menarik lagi adalah bahwa kedua periode tersebut menunjukkan gejala spekulasi yang serupa dan ilusi kolektif. Pada akhir tahun 1980-an di Jepang, seluruh masyarakat percaya pada mitos "tanah tidak akan pernah terdepresiasi", bahkan muncul fenomena konyol di mana harga tanah di Tokyo bisa membeli seluruh Amerika. Perusahaan-perusahaan terjebak dalam memperbesar aset di atas kertas, mengabaikan perkembangan industri dan meningkatkan tingkat pengembalian. Saat ini, pasar Aset Kripto juga dipenuhi dengan promosi fanatik tentang "revolusi mata uang digital", memuji koin virtual seperti Bitcoin sebagai "emas digital", yang menutupi sifatnya yang kurang didukung oleh nilai nyata.
Perlu dicatat bahwa kelompok peserta dalam dua gelembung ini juga menunjukkan karakteristik generasi tertentu. Pada masa gelembung Jepang, generasi 60-an dan 70-an yang memiliki kekuatan ekonomi yang kuat menjadi kekuatan spekulatif. Sementara itu, pasar Aset Kripto saat ini memanfaatkan kekuatan media sosial untuk membangkitkan psikologi FOMO (ketakutan akan kehilangan) di kalangan anak muda, menarik mereka untuk terlibat dengan harapan mendapatkan kekayaan dalam semalam.
Pengulangan sejarah ini mengingatkan kita bahwa baik di pasar keuangan tradisional maupun di bidang aset digital yang baru muncul, spekulasi berlebihan dapat menyebabkan konsekuensi ekonomi yang serius dan masalah sosial. Melihat risiko investasi secara rasional dan waspada terhadap ilusi kolektif mungkin adalah pelajaran penting yang dapat kita ambil dari kedua kasus ini.
Halaman ini mungkin berisi konten pihak ketiga, yang disediakan untuk tujuan informasi saja (bukan pernyataan/jaminan) dan tidak boleh dianggap sebagai dukungan terhadap pandangannya oleh Gate, atau sebagai nasihat keuangan atau profesional. Lihat Penafian untuk detailnya.
11 Suka
Hadiah
11
4
Posting ulang
Bagikan
Komentar
0/400
SchrodingerWallet
· 10-28 08:50
Sejarah selalu berulang, suckers tidak pernah turun dibawah harga penerbitan.
Lihat AsliBalas0
HodlTheDoor
· 10-28 08:41
Sejarah selalu berulang di tempat yang mirip, banyak uang berarti banyak jebakan, sedikit dianggap banyak!
Lihat AsliBalas0
SolidityJester
· 10-28 08:37
Sejarah selalu terulang, akhir dari bull run adalah orang-orang bodoh
Melihat sejarah perkembangan ekonomi global, '30 tahun hilang' Jepang sebagai sebuah peristiwa ikonik, membentuk resonansi unik yang melintasi waktu dengan gejolak saat ini di pasar Aset Kripto. Dua fenomena ekonomi yang tampaknya tidak terkait ini, dalam hal logika internal pembentukan gelembung, psikologi investor, konsekuensi intervensi kebijakan, serta dampak terhadap masyarakat, menunjukkan kesamaan yang mengejutkan, seolah-olah sebuah tragedi kapital yang berulang.
Kebijakan moneter yang longgar berperan sebagai sarang ekonomi gelembung, memainkan peran kunci dalam kedua kasus ini. Setelah penandatanganan "Perjanjian Plaza" pada tahun 1985, yen Jepang mengalami apresiasi yang signifikan. Untuk meredakan tekanan ekspor, pemerintah Jepang menerapkan kebijakan moneter yang sangat longgar, secara berkala menurunkan suku bunga ke titik terendah yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam waktu singkat. Ini menyebabkan sejumlah besar dana berlebih masuk ke pasar properti dan saham, mendorong lonjakan harga aset. Demikian pula, setelah meledaknya pandemi COVID-19 pada tahun 2020, bank sentral di seluruh dunia mengadopsi kebijakan moneter "banjir uang", yang menyebabkan kelebihan modal. Dana murah ini, dalam mengejar pengembalian tinggi, mengalir besar-besaran ke dalam bidang Aset Kripto seperti Bitcoin, mendorong lonjakan harga yang luar biasa. Kedua kasus ini dengan jelas menunjukkan bahwa likuiditas yang berlebihan adalah pendorong langsung terbentuknya gelembung aset.
Lebih menarik lagi adalah bahwa kedua periode tersebut menunjukkan gejala spekulasi yang serupa dan ilusi kolektif. Pada akhir tahun 1980-an di Jepang, seluruh masyarakat percaya pada mitos "tanah tidak akan pernah terdepresiasi", bahkan muncul fenomena konyol di mana harga tanah di Tokyo bisa membeli seluruh Amerika. Perusahaan-perusahaan terjebak dalam memperbesar aset di atas kertas, mengabaikan perkembangan industri dan meningkatkan tingkat pengembalian. Saat ini, pasar Aset Kripto juga dipenuhi dengan promosi fanatik tentang "revolusi mata uang digital", memuji koin virtual seperti Bitcoin sebagai "emas digital", yang menutupi sifatnya yang kurang didukung oleh nilai nyata.
Perlu dicatat bahwa kelompok peserta dalam dua gelembung ini juga menunjukkan karakteristik generasi tertentu. Pada masa gelembung Jepang, generasi 60-an dan 70-an yang memiliki kekuatan ekonomi yang kuat menjadi kekuatan spekulatif. Sementara itu, pasar Aset Kripto saat ini memanfaatkan kekuatan media sosial untuk membangkitkan psikologi FOMO (ketakutan akan kehilangan) di kalangan anak muda, menarik mereka untuk terlibat dengan harapan mendapatkan kekayaan dalam semalam.
Pengulangan sejarah ini mengingatkan kita bahwa baik di pasar keuangan tradisional maupun di bidang aset digital yang baru muncul, spekulasi berlebihan dapat menyebabkan konsekuensi ekonomi yang serius dan masalah sosial. Melihat risiko investasi secara rasional dan waspada terhadap ilusi kolektif mungkin adalah pelajaran penting yang dapat kita ambil dari kedua kasus ini.